7.4. Trading vs Marketing

Buku Retail Rules > 7.4. Trading vs Marketing

Suka atau tidak suka, industri ritel telah bergeser dari perdagangan barang (trading) ke arah pemasaran konsumen (marketing). Dahulu peritel dapat menikmati bisnis ritel secara fantastis hanya dengan kemampuan mendapatkan produk secara rutin
dengan meletakkan produk di rak toko, tempat konsumen akan berlomba untuk menemukannya.   
Kini dengan berlimpahnya produk di pasar, kemampuan mendapatkan stok dan meletakkan produk di lokasi strategis di dalam toko tidak cukup untuk meraih pangsa pasar di industri ritel. Berbelanja kini bukan hanya rutinitas untuk mendapatkan produk kebutuhan sehari-hari. Belanja kini juga menuntut pemenuhan kepuasan emosi konsumen.
Berjalan membawa produk dengan bungkusan kantong plastik bertuliskan merek ritel yang aspiratif, menciptakan terjadinya perbedaan emosi konsumen. Merek peritel telah menjadi simbol status bagi konsumen, yang mewakili nilai dan gaya hidupnya. Mereka juga menjadi simbol bagian dari komunitas yang dibentuk, atau dengan kata lain, simbol aktualisasi diri pelanggan.
Nilai yang diciptakan produsen, seperti melindungi alam dari The Body Shop, hidup alami ala Kampung Jamu Sari Ayu, hidup dengan makan sehat dan seimbang dari The Ranch Market, dan sebagainya, merupakan nilai dan aktualisasi diri pelanggan.
Masih sedikit peritel di Indonesia yang memberikan perhatian terhadap aspek pemasaran, sehingga hal ini menjadi tantangan yang sangat menarik (competitive advantage) bagi pelakunya. Kerancuan pemahaman antara promosi dan pemasaran telah membuat arti pemasaran menjadi kecil dan semakin tidak diindahkan.
Bagi peritel yang sudah paham, pemasaran kini sudah menjadi alat besar dan penting dalam organisasi. Pemasaranlah yang menciptakan persepsi “Termurah” atau “Terheboh", program “Loyalitas", citra “Saya banget", kesehatan “Brand", atau yang sekarang juga sedang tren, peningkatan “Brand Equity'. Pemasaran yang membangun kapling dibenak konsumen untuk merek peritel, sehingga tidak hanya Performance Scorecard (marketshare) yang dibutuhkan peritel, tetapi juga Marketing - Scorecard seperti mind share, mouth share, dan harga terbaik. Sekarang konsumen sudah terbiasa untuk berpindah-pindah toko demi mendapatkan harga termurah. Indikasi ini bisa dilihat dari kegemaran konsumen mengoleksi kartu diskon dari banyak peritel.
Harga adalah logika (angka) dan ada di benak konsumen, sedangkan loyalitas terletak di dalam hati. Jadi, perang harga untuk meraih loyalitas salah sasaran. Manusia menjadi setia karena ada sentuhan dan ikatan emosi. Strategi emosi dibuat melalui pemasaran yang mempengaruhi pikiran (positioning), mulut (word of mouth), dan hati konsumen (brand aspiration).
Alfamart merebut pikiran, mulut, dan hati pelanggan tidak dengan produk susu atau gula murah, tetapi dengan program Ronda Sore, Women Power, Temu Selebriti, dan lain-lain, sehingga menjadikan Alfamart sebagai brandritel nomor satu di Indonesia 2007 (Nielsen Brand Equity). Pemasaran juga mempelajari perilaku konsumen yang terus berubah dan cara berkomunikasi dengan konsumen. Jadi, bayangkanlah ritel tanpa pemasaran.

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget