5.3. Pola Belanja Konsumen Indonesia: Multichannel

Buku Retail Rules >  5.3. Pola Belanja Konsumen Indonesia: Multichannel

Konsumen Indonesia secara mayoritas atau lebih dari 80 persen berbelanja lebih dari satu channel per bulannya atau rata-rata empat channel per bulan. Konsumen yang menerima gaji bulanan cenderung berbelanja secara bulanan dan dilakukan di tempat belanja yang memberikan konsep One Stop Shopping, yakni konsep toko yang menyediakan berbagai jenis produk komoditas. Dari sembako hingga keperluan tambahan seperti personal care, makanan dan minuman modern, elektronik dan sebagainya.
Konsumen yang bergaji mingguan atau harian cenderung berbelanja ke toko yang lebih kecil, lebih fokus pada kebutuhan dasar seperti susu, minyak goreng, sabun dan sebagainya.
Konsumen Indonesia setiap bulannya bisa diibaratkan seperti melanglang buana dalam berbelanja. Dari berhenti menenggak minuman ringan di rombong rokok, membeli deodoran dan skin care di minimarket, berbelanja kebutuhan bulanan di hypermarket atau supermarket, mampir di toko tradisional sebelah rumah untuk mengambil odol dan sabun, hingga belanja bahan makanan segar ke pasar tradisional setiap hari atau menyetop gerobak sayur yang lewat di depan rumah, seperti yang selalu dilakukan oleh keluarga yang sibuk bekerja dan tidak punya waktu ke pasar di pagi hari.
Tempat belanja sandang seperti departement store berkelas dan mewah adalah tujuan untuk mencari kemeja dan pakaian bermerek. Pusat perdagangan atau pertokoan (misalnya Pasar Jaya Senen, Pasar Tanah Abang, Trade Center Mangga Dua) menjadi lokasi tujuan untuk mencari barang berkualitas tanpa merek, tak soal meski harus mengantre parkir, berdesak-desakan dan untuk mendapatkan harga terbaik harus berani melakukan Hasil survei dan rise tawar-menawar secara sengit.
Dengan pola belanja konsumen yang beragam, berbagai format toko, baik dalam bentuk tradisional hingga modern, merupakan sebuah bentuk yang mengakomodasi kebutuhan aneka kebutuhan belanja konsumen itu sendiri. Semakin kecil formatnya, semakin sering dikunjungi konsumen dan semakin dekat dengan tempat tinggal konsumen dan mempunyai keranjang belanja yang kecil. Semakin besar formatnya, semakin jarang dikunjungi, agak jauh dari tempat tinggal konsumen dan mepuya yang dipajang, di tengah proses belanjanya. keranjang belanja yang lebih besar. Data Nielsen Study Shoppertrend setiap tahunnya meneyebutkan bahwa rata-rata atau 96persen pengunjung toko modern (hypermarket, supermarket, dan minimarket) mengunjungi toko tradisonal setiap bulan. Sebanyak 70 persen dari pengunjung toko modern mengunjungi pasar basah setiap bulan.
Fakta ini menunjukkan bahwa konsumen Indonesia membagi-bagi uang belanjanya keberbagai channel.Jadi "thebattleforthe consumer wallet" atau perebutan dompet konsumen menjadi strategi utama bagi para peritel untuk mendapatkan bisnis di ritel Indonesia.
Berikut adalah tips untuk meraih isi dompet konsumen: Rumah makan self service Rumah makan padang, sunda
  1. Fokus pada konsumen Temukan apa yang mereka mau dan berikan! Buatlah Toko obat Apotik dengan rakswalayan kondisi toko ritel Anda sesuai dengan target konsumen Anda. Tajamkan Toko kelontong Minimarket/supermarket penawaran Anda sehingga Anda mendapatkan positioning di benakkonsumen. Toko bangunan Swalayan alat bangunan Selalu telaah tren jenis produk (assortment), harga, dan bentuk promosi. Toko buku Swalayan buku Toko buah Swalayan buah
  2. Multiformat Pemain harus bermain multiformat untuk menangkap pasar Toko furniture swalayan urniture secara maksimal. Peritel dapat memilih format yang cocok. Ada supermarket, Rumah elektronik Swalayan elektronik minimarket, discount store, personal care store, drugstore, convenient store, petrolconvenient store, dan lain-lain. Kekuatan merek ritel Anda, yang dipercaya konsumen, bisa menjadi payung untuk keseluruhan strategi multiformat Anda. Merek adalah faktor kunci dalam kesuksesan multiformat. Setiap format sebaiknya memiliki merek berbeda karena bisa memberikan penawaran dan pengalaman berbeda bagi konsumen.
  3. Terapkan model bisnis swalayan (self-service) Impulse purchase atau pembelian tidak direncanakan adalah DNA bisnis ritel ke depan. Mereka yang menerapkan model bisnis self-service mempunyai faktor pelipatgandaan dalam penjualan, profit, kepuasan pelanggan, dan loyalitas.
Ingat, dua pertiga keputusan membeli, terjadi di dalam toko, seperti hasil studi Nielsen. Dari asumsi itu, disimpulkan bahwa pelanggan kerap kali mengubah rencana belanja, yaitu mengubah merek produk, ukuran produk, varian produk, dan lain-lain karena tergiur penawaran dan produk yang dipajang, ditengah proses belanjanya.
Inilah yang mengakibatkan terciptanya potensi peningkatan penjualan dan profit bagi peritel. Di sini pula terpendam harta karun di dalam dompet konsumen Anda. Jadilah Self-service! Rauplah isi dompet konsumen ketika berada di toko Anda, atau peritel lain yang akan akan meraupny masih hidup atau baru disembelih. Daging segar mempunyai nilai yang tinggi karena konsumen Indonesia, dan juga konsumen Asia lainnya, percaya bahwa khasiat hayati yang dikandung di dalam daging dan sayur segar belum hilang.
Daging atau sayuran yang dijual di pasar tradisional dibawa langsung dari tempat asalnya sebelum matahari terbit. Contohnya sayur dan buah yang baru dipetik dari kebun atau pegunungan. Ikan baru diambil dari laut, daging dikirim dari tempat pemotongan hewan, sedangkan ayam dan ikan air tawar dijual dalam kondisi masih hidup. Orang Asia adalah masyarakat agraria. Mereka terbiasa makan makanan yang masih segar sehingga bisa dengan mudah membedakan antara bahan makanan yang masih segar atau yang sudah diinapkan.
Pasar tradisional dalam persepsi konsumen adalah tempat yang murah, lengkap, dan bisa tawar-menawar. Inilah yang membuat konsumen loyal dan masih mengandalkan pasar sebagai tempatbelanja bahan makanan setiap hari. Walaupun becek, berbau, dan tidak aman, tapi ibu-ibu Indonesia tetap menikmati rutinitas belanja di pasar tradisional ini demi memastikan keluarganya mendapat produk terbaik, yakni dalam hal kualitas bahan makanan dan harga yang paling hemat.
Anda baca tadi: (hanya) Ibu rumah tangga! Anggota keluarga lainnya, seperti bapak dan anak, sama sekali tidak suka ke pasar karena kondisinya yang seringkali becek, sempit, dan tidak teratur, sehingga petualangan mencari bahan makanan tidak menjadi pengalaman yang menyenangkan.
Sang bapak takut kendaraan pribadi nyalecet atau hilang. Anak-anak tidak suka karena harus menutup hidung dan berjalan berjingkat-jingkat agar kaki, sandal, sepatu, atau celananya tidak kotor. Di luar itu, yang paling membuat bapak dan anak enggan ke pasar adalah karena mereka tidak menemukan barang yang menarik untuk dilihat-lihat apalagi dibeli. Pasar hanya menyediakan bahan makanan atau melulu untuk urusan dapur.
Inilah sebenarnya potensi yang hilang. Sebenarnya potensi belanja untuk profit (keuntungan) ada di pasangan terakhir ini. Menurut studi Paco Underhill dalam bukunya Why We Buy, bapak dan anak merupakan pasangan yang fatal dalam berbelanja. Mereka sering berbelanja tanpa bisa mengendalikan tangannya untuk tidak merogoh saku atau dompet hingga batas terdalam.
Ukuran belanja ibu rumah tangga juga tidak dapat berkembang karena ukuran keranjang yang mereka bawa juga sangat terbatas. Pembatasan ukuran itu juga disebabkan karena kemampuan membawa kedua tangan ibu yang juga terbatas. Tidak ada troli atau keranjang besar yang dilengkapi roda.
Uang tunai yang dibawa juga terbatas, karena takut dicopet-sebuah pemandangan yang masih lazim ditemui dipasar tradisional. Kartu kredit memang terselip di dompet, tapi tidak bisa digunakan karena tak tersedia alat geseknya. Waktu berbelanja juga tak banyak, karena waktu habis untuk tawar-menawar. Suasana belanja juga tidak nyaman, karena harus antre ketika akan memilih belanjaan. Apakah pasar akan kehilangan generasi pembelanja?
Anak dan remaja Indonesia yang hidup di kota-kota sudah sangat jarang pergi ke pasar. Mereka lebih memilih toko di pinggir jalan atau toko modern yang nyaman, yang selalu memastikan ketersediaan barang. Jika pasar tradisional tidak segera membenahi bentuk dan desain gedungnya dan menerapkan sistem pengelolaan yang modern, sudah pasti pasar tradisional akan ditinggalkan oleh konsumennya. Dari hasil studi FGD Shoppertrend Nielsen, saat ini regenerasi konsumen yang berbelanja di pasar tradisional masih terselamatkan oleh tradisi para orang tua yang masih menasihati anak perempuan yang baru berkeluarga atau mantu perempuannya untuk pergi berbelanja kepasar agar mendapat bahan makanan yang segar dan sehat, sekaligus menghemat keuangan keluarga.
Ancaman kedua adalah gerobak sayur dan pedagang keliling dengan kendaraan roda empat yang semakin ekspansif dan agresif. Mereka menjajakan dagangannya
dengan memasuki pelosok perumahan, dari kelas bawah hingga perumahan mewah. Kehadiran pedagang keliling menjadi solusi bagi ibu-ibu muda Indonesia yang menginginkan kepraktisan tanpa harus pergi keluar rumah yang jauh untuk sekadar membeli sekilo daging dan seikat sayur, misalnya.
Para pedagang itu juga dianggap menjadi dewa penyelamat. Pagi hari adalah waktu yang sangat sempit. Selain harus menyiapkan anak-anaknya untuk bersekolah, para ibu juga harus bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Berkat pedagang sayur keliling, tinggal menunggu di depan rumah, bahan makanan segar berupa daging, ikan, atau sayuran seperti yang dianjurkan orang tua atau mertu bisa dengan mudah diperoleh. Para ibu juga bisa memesan produk bermerek atau produk siap saji seperti sosis, dengan menelepon pedagang sayur langganannya melalui handphone.
Kemudahan berbelanja yang ditawarkan pedagang keliling lainnya adalah ibu-ibu tak perlu antre ketika ingin memilih belanjaan seperti di pasar tradisional. Juga tidak becek, tidak berbau, dan tetap bisa menawar-interaksi sosial yang sangat ditunggu-tunggu para ibu. Kemudahan inilah yang mengurangi alasan bagi perempuan sibuk untuk pergi ke pasar.
Peritel modern sudah lama mencoba menangkap peluang menjual produk segar, tapi masih saja menghadapi sejuta masalah. Persepsi konsumen terhadap produk segar yang dijual di pasar modern yang lebih higienis dan disimpan di mesin pendingin adalah makanan beku, tidak segar, dan mahal.
Bisnis makanan segar di supermarket sangat riskan, karena jika perputaran lambat berarti tinta merah. Saat ini hanya beberapa supermarket saja yang mempunyai perputaran makanan segar yang baik. Lainnya kebanyakan menjual produk tidak segar karena harus diinapkan berhari-hari akibat terbatasnya jumlah pembeli. Yang bisa menjual produk segar setiap hari, tentu bisa membangun reputasi. Sebagai hadiahnya, konsumen yang memburu bahan makanan segar akan berbondong-bondong ke sana. Format supermarket cocok sebagai pasar modern yang menjual bahan makanan segar, karena supermarket didirikan di dekat perumahan. Konsumen bisa berbelanja keperluan bahan makanan segarnya lebih sering, paling sedikit seminggu sekali. Karena supermarket menjadi alternatif bagi ibu-ibu yang mencari bahan makanan segar, maka berbagai produk bahan segarpun harus tersedia selengkap-lengkapnya. Jika mungkin semua yang ada di pasar tradisional dipindahkan ke pasar modern, mulai dari kelapa serut segar, kaki ayam kampung, segala jenis cabai dan bumbu tradisional, berbagai jenis ikan asin, hingga berbagai jenis tahu dan tempe.
Ketersediaan yang lengkap membentuk persepsi di benak konsumen bahwa mencari bahan makanan segar bisa dilakukan dengan cara yang lebih nyaman, tanpa harus ke pasar tradisional. Supermarket kini begitu lengkap, sehingga muncul guyonan berkaitan dengan ketersediaan bahan makanan segar di supermarket: "Apa pun ada, tidak perlu pinjam tetangga"
Jadi bisnis makanan segar hanya ada dua arah, berjalan baik atau tidak sama sekali. Bagaimana dengan potensi belanjanya? Bujet untuk membeli bahan makanan segar bagi rumah tangga Indonesia adalah sebesar setengah dari bujet belanja bulanan. Jadi cukup potensial. Ditambah lagi, ternyata status ekonomi rumah tangga itu mempengaruhi proporsi tersebut. Rumah tangga kelas bawah dan kelas atas sama-sama membelanjakan separuh bujet belanjanya untuk keperluan bahan makanan segar. Rumah tangga dengan dananya pas-pasan membeli bahan makanan biasa, sedangkan rumah tangga berkantong lebih tebal akan membeli bahan makanan dengan kualitas lebih baik dan lebih mahal.
Di dunia industri ritel, kita semua harus sadar dan paham bahwa pembunuh berdarah dingin suatu format ritel atau brand ritel adalah konsumen, bukan kompetitor. Konsumenlah yang memberi aliran darah (finansial) ke peritel untuk dapat bertahan hidup. Namun konsumen jugalah yang menghentikan aliran itu bila mereka tak bisa menemukan barang yang dicari. Setiap peritel, baik modern maupun tradisional, dituntut untuk selalu fokus terhadap perubahan kebutuhan, keinginan, dan perilaku konsumen. Peritel juga dituntut untuk selalu memberikan dan menciptakan penawaran yang relevan terhadap konsumen. Dari pengamatan saya selama 16 tahun mencermati bisnis ritel di Indonesia, banyak peritel tidak dapat bertahan di bisnisnya karena ketidakmauan dan ketidakmampuan mereka untuk berubah. Namun mereka selalu menyalahkan persaingan.
Saat ini pihak swasta telah membangun pasar "next generation", karena pasar diperlukan di setiap perumahan. Perumahan di real estate kini memiliki pasar yang bersih, nyaman, dan aman. Bermula dari Bumi Serpong Damai di Tangerang, kemudian pasar jenis ini mulai muncul di Kota Wisata Cibubur, Serpong dan Pantai Indah Kapuk (keduanya di Tangerang), serta Batu Nunggal di Bandung.
Perbedaan pasar ini dari pasar konvensional adalah atap tinggi tidak bertingkat dan pencahayaan alami. Perputaran udara tetap dipelihara. Jalur jalan konsumen selalu dibersihkan setiap saat Air bersih mengalir. Parkir mobil yang tersedia cukup luas dan aman. Pedagang termonitor.
Ada pula tempat makan dan kebutuhan lainnya, yang bisa menjadi tempat istirahat atau sekadar melihat-lihat bagi para pembeli. Yang menakjubkan adalah pasar ini terletak sangat dekat dengan mal, hypermarket, supermarket, dan minimarket terkenal. Parkir di pasar ini sangat penuh di pagi hari, begitu pula di malam hari. Ya, karena malam berubah menjadi tempat makan malam dengan udara terbuka yang sangat nyaman dan menarik. Konsep Pasar Segar Nusantara atau Next Generation Pasar sudah saya ajukan kepada instansi pemerintah terkait. Bentuknya adalah pasar dengan konsep 3 plus 1, yaitu konsep yang mengusung tiga unsur belanja, yakni rekreasi, makan, plus nostalgia. Pasar harus ramah bagi konsumen, yaitu bisa berbelanja ditempat yang bersih, nyaman, aman, dan lengkap.
Pasar harus mampu memenuhi kebutuhan satu keluarga, yaitu ibu, suami, dan anak, dengan menyediakan toko perkakas, peralatan mobil, motor, mainan, barang-barang keperluan sekolah, dan sebagainya. Pasarjuga harus dapat menjual pengalaman rekreasi, yaitu mempertontonkan proses memasak, lomba memasak, demo memasak, ikan hias, tanaman hias, dan sebagainya. Pasar juga harus bisa menyediakan ragam makanan dan minuman nusantara yang susah dicari, dan dibuat pula dengan bahan segar. Selain itu, pasar harus mempunyai suasana tempat makan yang istimewa, berbeda dan khas Indonesia. Plus semua hal yang mengandung nostalgia belanja.
Di sinilah seharusnya "melting pot" budaya Indonesia bisa diciptakan. Setiap segmen konsumen harus mempunyai top of mind bahwa Pasar Segar Nusantara adalah tempat pertemuan istimewa. Yang tua minum kopi tubruk dengan santai bersama kolega sambil membicarakan isu politik dan bangsa yang hangat. Yang muda mengenal aktivitas heritage, seperti permainan gangsing, perahu minyak sayur, bertukar perangko, dan sebagainya. Sang ibu bertukar resep baru makanan dan masakan nostalgia, seperti nasiliwet, kuerangi, kue pancong, nasi kucing, dan lain-lain, yang akan disajikan untuk suami dan sanak saudara yang berkunjung ke rumah.

---------------------------------------------------------
Website Raja Rak Minimarket yang lain : 

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget