Buku > Retail Rules > 4.1. Carrefour: Retail is Detail
Penataan rak dan penempatan barang yang seragam di seluruh toko Carrefour memudahkan konsumen dalam memilih dan mencari produk. Berbelanja pun menjadi semakin nyaman.
Salah satu raksasa ritel dunia ini memang tengah menjadi sorotan di Indonesia, terutama karena bisnisnya yang mulai menggurita. Jumlah toko Carrefour yang pertama kali beroperasi di Indonesia pada November 1998 ini terus bertambah. Hingga pertengahan tahun 2009, jumlah tokonya mencapai 44 toko (di bawah PT Carrefour Indonesia) dan 30 toko lagi berada di bawah PT Alfa Retailindo Tbk yang diakuisisi Carrefour pada Januari 2008 dengan penguasaan saham hampir 80 persen. Lokasi tokonya tersebar di kota-kota besar di Indonesia, seperti Medan, Palembang, Jabodetabek, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Madiun, Surakarta, Surabaya, Denpasar, dan Makasar.
Satu toko yang besar seperti Carrefour Lebak Bulus, Jakarta Selatan, setiap harinya menyerap400 sampai 600-an pekerja (pegawai tetap dan tidak langsung). Sementara total nasional hingga saat ini per hari Carrefour Indonesia menyerap lebih dari 20 ribuan pekerja. 99 persen pekerjanya murni lokal dan 95 persen barang-barang yang dijual juga lokal. Rata-rata setiap toko menjual lebih dari 40 ribu item. Mayoritas barang yang dijual merupakan barang-barang komoditas dengan tingkat kebutuhan yang cukup tinggi, seperti kebutuhan pokok, sabun, pasta gigi, dan sebagainya. Harganya juga bervariasi, mulai dari yang ratusan perak, hingga puluhan juta rupiah.
Hebatnya, Carrefour Indonesia ternyata menjadi penyumbang pemasukan terbesar ketiga di Asia setelah Cina dan Taiwan. Secara internasional, 45 persen pemasukan Carrefour masih disumbang oleh Carrefour Prancis. Di Prancis sendiri Carrefour Group memiliki 218 buah hypermarket (belum termasuk minimarket dan supermarketnya yang jumlahnya juga mencapai ratusan toko). Di luar Prancis, kontribusi pendapatan terbesar disumbangkan Carrefour dari Spanyol, Italia, dan Brasil.
Sebagai peritel asing, keberadaannya pun mulai digoyang, mulai dengan masalah trading term, mematikan pasar tradisional, dan sebagainya. Tapi dalam bisnis ritel yang dijalaninya Carrefour ternyata menganut paham yang sederhana.
Irawan D., Corporate Affair Director PT Carrefour Indonesia, menyebut konsep dasar bisnis Carrefour adalah Kami beli dan kami jual kembali. Paham sederhana itu kemudian diimplementasikan melalui sebuah sistem bisnis ritel modern, yakni pengelolaan shopping management yang tepat. “Kami menyebutnya 'retailis detail'" kata Irawan. Misalnya, lanjut dia, rak-rak di toko harus sama dan senada, baik pola pemasangan maupun bentuknya; penerangan atau tata lampu sama; bersih, dan sebagainya.
Secara psikologis, pola seragam ini akan membuat konsumen merasa lebih nyaman dan mudah dalam mencari barang-barang yang mereka inginkan. Jadi, , ketika konsumen yang biasa belanja di Carrefour Jakarta kemudian belanja di Carrefour Surabaya atau Denpasar, mereka tetap merasa nyaman dan mudah menemukan barang yang dicari. “Ini yang menurut kami bisa membuat perbedaan. Konsumen nyaman, mudah, dan sekaligus menikmati saat belanja di Carrefour," jelas Irawan.
Sukses dari Kehancuran
Sukses besar Carrefour di Indonesia dimulai saat situasi perekonomian di Indonesia sedang hancur-hancurnya. Enam bulan sebelum gerai pertama beroperasi pada November 1998, Indonesia dilanda kerusuhan hebat berlatar belakang etnis. Ketika itu banyak perusahaan asing yang hengkang dan menarik investasinya dari Indonesia. Tetapi Carrefour tidak pergi. Hal ini rupanya didasari komitmen jangka panjang Carrefour Group untuk membangun sebuah toko ritel modern di Indonesia.
Justru pada saat perekonomian saat itu masih terpuruk akibat krisis moneter yang menerpa kawasan Asia, Carrefour Group melalui Carrefour Indonesia memperkenalkan sebuah wajah modern industri ritel. Satu hal yang perlu dicatat ketika itu, Carrefour Group optimististis bahwa Indonesia akan bangkit dan cepat pulih dari keterpurukan ekonomi. “Terbukti kan sekarang, cetus Irawan.
Namun menyakinkan kantor pusat Carrefour di Prancis juga tidak semudah membalikkan telapak tangan. Mau tidak mau, meski kondisi belum stabil dan kesiapan gerai belum 100 persen, roda bisnis harus sesegera mungkin dijalankan. Ini merupakan salah satu langkah agar Carrefour Group tetap yakin bahwa Carrefour Indonesia memiliki potensi yang besar.
Salah satu contoh meyakinkan kantor pusat misalnya dengan penyesuaian fungsi dan jabatan - Country Manager menjadi Store Manager, bagian Merchandise menjadi Sales Manager, dan sebagainya. "Itu penyesuaian dalam keadaan darurat (kerusuhan). Jadi, pada waktu itu ada niat untuk tetap eksis.Itu juga menjadi cara kita (tim) untuk terus menyakinkan kantor pusat, kenang Irawan.
Sejak melakukan berbagai studi di tahun 1996 hingga awal 1998 (sebelum kerusuhan meledak), cerefour sudah memutuskan untuk membuka tokonya di Indonesia. Keputusan ini diambil dengan pertimbangan yang cukup matang, yakni melihat parameter-parameter serta potensi tumbuh kembangnya di masa yang akan datang. Ini memang sudah menjadi standar baku bagi Carrefour Group ketika ingin membuka toko baru di sebuah kota atau negara. Parameter-parameter yang dipertimbangkan antara lain mencari partner, pengembang, dan lokasi. Pokoknya segala sesuatu yang berkaitan dengan infrastuktur.
Begitu syarat-syarat dipenuhi, maka toko pun dibuka. "Itu yang kamilakukan selama 1996 hingga 1998, ungkap Irawan. Menariknya, masih menurut Irawan, Carrefour Indonesia tidak terlalu sulit untuk mengadopsi manajemen berkualitas internasional ala Carrefour Group. Terlebih lagi, Carrefour Group memberikan kebebasan kepada Carrefour Indonesia untuk menyesuaikan kebijakan-kebijakan sesuai dengan iklim usaha di Indonesia.
Memang pada dasarnya ada standardisasi baku di Carrefour Group, tetapi karena budaya, keadaan, serta kebutuhan setiap daerah atau negara berbedabeda, maka kebijakan boleh disesuaikan. Penyesuaian yang sama juga dilakukan di Indonesia. Dalam hal distribusi, misalnya, di negara-negara maju, logistik sudah sangat maju dan mapan, sementara di Indonesia (terutama sewaktu Carrefour baru akan membuka toko pertama di Cempaka Putih) kondisinya belum memadai. Jadi, dengan kondisi yang ada, supplier yang mengantarkan barangketoko. Situasi ini jelas menjadi sebuah kendala tersendiri bagi Carrefour, terutama dalam hal service rate.
Carrefour meminta dua hal yang perlu diperhatikan pemasok. Pertama kualitas dan kedua adalah jaminan pasokan. Jadi, misalnya dibutuhkan 10 ribu barang, jumlah pasokan yang diantarkan harus 10 ribu barang. Tapi pada kenyataannya kuota itu tidak terpenuhi. Bahkan, ada beberapa pemasok yang mengantarkan barang pesanan di bawah 80 persen dari pesanan. “Itu salah satu kelemahan yang kami hadapi. Service rate masih sangat sulit dikontrol. Maka kami bentuk distribution center di tahun 2007,” jelas Irawan.
Dengan pola baru ini, supplier mengantarkan produknya ke distribution center, dan selanjutnya baru disebar ke toko-toko Carrefour. Service rate di distribution center memberikan toleransi minimal 80 persen dari kuota yang seharusnya dipasok. Jadi, pemasok yang hanya membawa 8 ribu dari 10 ribu barang yang dipesan masih bisa diterima. Dengan adanya distribution center, sistem distribusi menjadi lebih terkontrol dan lebih baik. “Kami berharap, dengan adanya distribution center ini service rate akan meningkat dan hal-hal seperti kelangkaan barang di toko bisa teratasi," terang Irawan.
Membina UMKM
Saat ini terdapat sekitar 4.000 pemasok ke Carrefour dan 70 persen di antaranya merupakan pemasok UKM. Pemasok yang selama ini memiliki service rate rendah tidak langsung dikesampingkan, malah sebaliknya dibina agar service rate-nya membaik. Dan mereka inilah yang diprioritaskan untuk memasukkan barang-barangnya ke distribution center.
Pembinaan pemasok berskala UMKM memang sudah menjadi komitmen Carrefour Indonesia melalui program CSR (Corporate Social Responsibility). Apalagi mereka merupakan mitra terpenting Carrefour, khususnya dalam memasok produk-produk lokal yang dibutuhkan konsumen.
Salah satu langkah nyata yang dilakukan Carrefour dalam upaya pengembangan UMKM adalah melalui pemberian bantuan micro credit di pasar tradisional yang lokasinya berdekatan dengan toko.
Menurut Irawan, bantuan yang diberikan bukan hanya saja berupa uang (modal), tapi juga membantu meningkatkan keterampilan UMKM dengan cara memberikan pelatihan-pelatihan. Pembinaan itu difokuskan pada peningkatan kualitas produk dan kreativitas dalam menciptakan produk-produknya.
Harapannya, UMKM itu bisa menjadi wirausahawan yang produktif dan andal di kemudian hari. Selain itu, UMKM yang sudah memiliki atau menciptakan produk-produk tertentu dipupuk dan dibentuk komunitas-komunitas produktif dan nantinya produk-produk mereka ini bisa dijual ke Carrefour.
Irawan juga menjelaskan bahwa selama ini ada pengertian yang salah kaprah dan beranggapan bahwa ketika produk-produk UMKM masuk ritel seluruh masalah selesai. Padahal sebetulnya tidak. Itu baru satu jalan masuk ke peritel. Setelah masuk, barang dijual ke konsumen. Namun apakah barang-barang itu disenangi konsumen? Nah, inilah yang menjadi masalah. Barang-barang yang masuk keperitel dan tidaklakukarena tidak disenangi konsumen, pada akhirnya menjadi masalah.
UMKM yang mengalami hal seperti ini bukan hanya satu dua, tapi banyak. Oleh karena itu, pola pendekatan terhadap UMKM melalui pembinaan sangat diperlukan. "Hal ini akan mengarahkan mereka supaya lebih atraktif dan kreatif dalam menelurkan produk-produk yang akan disenangi konsumen. Caranya, ya, dengan pelatihan-pelatihan yang diadakan tadi," tutur Irawan.---------------------------------------------------------
Website Raja Rak Minimarket yang lain :
Posting Komentar