Buku > Retail Rules > 1.1. Ekonomi Negara dan Bisnis Supermarket
Supermarket tak sekadar memudahkan konsumen dalam memilih dan mencari barang yang dibutuhkan, plus memberikan kenyamanan berbelanja karena tempatnya yang bersih, kering, dengan penataan barang yang menarik. Lebih dari itu, bisnis ritel modern telah membawa perubahan dalam cara berbelanja. Pemerintah pun tergerak untuk ikut menggiatkannya, karena bisa menggerakkan perekonomian atas investasi yang ditanam para investornya.
Tengok saja pertumbuhan bisnis ritel modern atau pasar swalayan di masa Orde Baru. Pada masa itu, seiring dengan kebijakan ekonomi, pemerintah mengundang investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Kebijakan ini tak hanya mengalirkan modal asing, tetapi juga mendatangkan para ekspatriat ke Indonesia.
Di saat yang bersamaan, kondisi ekonomi yang membaik juga membuat banyak putra-putri Indonesia menuntut ilmu ke luar negeri. Sekembalinya ke Indonesia, selain membawa ilmu, mereka juga membawa pengalaman mencari makanan atau cara berbelanja yang nyaman.
Namun bisnis swalayan di era 1970-an bukanlah bisnis yang mudah. Para pemasok belum terbiasa dengan pola kerja pasar swalayan, dan konsumen pun belum terbiasa berbelanja dengan cara mengambil sendiri barang belanjaan tanpa dilayani. Sebagai contoh, memasok ayam di pasar swalayan tentu berbeda dengan pasar tradisional. Di pasar tradisional, konsumen bisa memilih ayam hidup untuk kemudian disembelih di depan konsumen. Di pasar swalayan, produk hewani sudah dipilah-pilah berdasarkan kebutuhan. Ayam dibagi berdasarkan kebutuhan ayam dibagi berdasarkan paha atas, paha bawah, ati-ampela, ceker, daging tanpa tulang, daging ayam giling, dan sebagainya. Butuh waktu untuk menanamkan persepsi di benak konsumen bahwa daging ayam yang dijual di pasar swalayan pun berasal dari ayam yang hidup. Pemotongannya saja yang dilakukan di rumah pemotongan hewan.
Demikian pula dengan sayuran. Di pasar tradisional, sayuran digelar sering kali masih dalam kondisi kotor. Kemudian terjadi proses tawar-menawar. Sayuran ditimbang dengan timbangan biasa dan dibungkus dengan kertas koran atau diikat saja dengan tali rafia atau tali pisang. Sedangkan di pasar modern, semua produk yang dijual sudah harus dalam keadaan bersih. Beberapa di antaranya bahkan sudah dipak. Konsumen bisa langsung mengambil sendiri tanpa harus dilayani. Barang belanjaan juga dijual dengan harga netto atau tidak bisa ditawar.
Timbangan yang dipakai pun berbeda. Pasar swalayan menggunakan timbangan digital yang memiliki tingkat akurasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan timbangan biasa. Selain produknya yang sudah bersih, pasar modern juga tidak becek dan kotor. Di samping bersih, berbelanja di pasar modern juga praktis.
Kepraktisan dirasakan bukan hanya pada saat pembelian produk segar, namun juga untuk keseluruhan proses belanja. Di pintu masuk, tersedia troli atau keranjang adalah pasar tradisional tertua di Yogyakarta yang berdiri sejak tahun 1809. Sumber Berbagai Sumber yang bisa digunakan untuk membawa produk. Jadi tak perlu membawa keranjang sendiri. Konsumen juga tidak perlu membayar untuk setiap produk belanjaan yang Kisah Bisnis Ritel Makanan di Indonesia 7 diambilnya seperti di pasar tradisional. Selesai berbelanja, konsumen bisa membayarnya di kasir, yang tersedia di pintu keluar.
Kepraktisan yang ditawarkan pasar swalayan, membawa kebiasaan baru dalam berbelanja, karena semuanya bisa dilakukan oleh konsumen secara mandiri. Namun ada yang terasa hilang, yaitu proses interaksi antara penjual dan pembeli. Proses interaksi terjadi bukan hanya pada saat tawar-menawar, tapi juga pada saat membagi informasi mengenai khasiat atau cara masak, atau sekadar bergosip ria.
Banyak yang terjadi pada awal berdirinya pasar swalayan hingga 10 tahun kemudian. Beberapa pengusaha besar atau menengah melirik bisnis supermarket sebagai bisnis yang sangat menarik dengan cash flow positif. Karena konsumen membayar tunai dan supermarket membayar pemasoknya dengan kredit antara 14 sampai dengan 45 hari. Saking menariknya, kelompok usaha Gramedia pun ikut mendirikan supermarket yang dinamai Grasera. Ada pula supermarket Golden Truly yang didirikan Sudwikatmono. Belum lagi supermarket kelas menengah dengan beberapa cabang yang bertebaran di Jakarta dan kota besar lainnya, seperti Susana, Karina, dan Tomang Tol.
Namun karena tak mampu berubah atau bertahan di lingkungan yang berubah, banyak di antara supermarket itu yang hilang dari peredaran. Beberapa dijual ke pemain yang sudah ada, seperti kelompok supermarket Susana yang dijual ke grup Hero, demikian pula Golden Truly yang sebagian gerainya juga dilepas ke grup Hero.
Catatan penting lainnya di satu dekade pertama, supermarket dianggap bisa menjadi penarik arus konsumen (customer traffic puller) untuk datang ke suatu mal atau tempat belanja. Karena itu sering kali supermarket ditempatkan di lantai paling atas, bersebelahan dengan bioskop. Konsumen yang ingin ke supermarket melewati seluruh lantai, sehingga toko-toko yang ada di bawahnya bisa terlihat.
Pola seperti ini pernah dilakukan oleh Gajah Mada Plaza atau Hayam Wuruk Plaza, keduanya di Jakarta Pusat. Seiring berjalannya waktu, konsep ini mulai berubah, karena orang yang benar-benar ingin berbelanja ke supermarket tidak mau membawa barang belanjaan yang berat melewati beberapa lantai.
Di sisi lain, beberapa department store juga melihat bisnis supermarket sebagai penarik trafik (traffic puller), karena itu beberapa department store pun mulai mendirikan supermarket. Itulah sebabnya di akhir tahun 1980-an kita melihat adanya Super Bazaar, nama yang digunakan grup Matahari untuk bisnis supermarketnya. Lokasinya berada di dekat, di bawah, di atas, atau di ujung Matahari department store. Lokasi yang tidak menentu dikarenakan belum lengkapnya pemahaman bisnis supermarket, sehingga walaupun supermarket dirasakan perlu untuk menarik traffic, namun keberadaannya belum dirasakan terlalu penting.
Penempatannya lebih untuk mengisi dead area (area mati), sehingga area tersebut menjadi lebih hidup. Karena sekadar sebagai pengisi saja, banyak supermarket di dalam department store yang pada akhirnya harus ditutup karena tak mampu menyedot perhatian pengunjung.
Kita tidak bisa memaksa konsumen untuk naik beberapa lantai hanya untuk membeli satu botol minyak goreng yang beratnya kurang lebih 2 kg, susu dengan berat hampir 1 kg, dan deterjen yang beratnya hampir 1 kg, serta produk kecantikan seperti sampo, sabun, dan pasta gigi yang beratnya hampir 0,5 kg. Itu saja beratnya sudah hampir 4,5 kg.
Belum lagi bila konsumen membeli produk segar seperti buah atau daging, dan harus membawa belanjaannya menuruni berbagai lantai atau berputar. Bisa dibayangkan betapa repotnya membawa barang belanjaan di masa itu. Ramayana sebagai department store juga sempat tergoda untuk membuat supermarket di lantai paling atas, kadang di lantai 3 atau bahkan di lantai 4. Karena tak direncanakan secara matang atau hanya sebagai pengisi ruang yang kosong, hasilnya tidak maksimal.
Perkembangan pusat perbelanjaan pada saat itu belum semarak seperti sekarang. Kondisi ini memungkinkan beberapa supermarket dibuka stand alone (berdiri sendiri) dan mendapat tanggapan yang cukup bagus, terutama Kisah Bisnis Ritel Makanan di Indonesia 9 itu, tumbuhlah beberapa supermarket baru yang berdiri sendiri. Supermarket ini mengambil lokasi di beberapa ruko atau bangunan sendiri yang ukuran ratarata per lantainya kurang lebih 1.200 meter persegi sampai dengan 2.000 meter persegi. Beberapa memiliki ukuran lebih besar, seperti gerai milik Golden Truly.
Supermarket stand alone biasanya dibangun 2 lantai. Lantai atas disewakan kepada pihak lain seperti salon, toko buku, atau mainan anak. Lokasinya kebanyakan di daerah kompleks perumahan. Pada era 1970-an sampai dengan pertengahan 1990-an, pertumbuhan supermarket stand alone jauh lebih banyak dibandingkan dengan supermarket yang mengambil tempat di pusat perbelanjaan, baik dari segi jumlah toko maupun penjualan. Sampai sekarang beberapa lokasi stand alone masih ada, tapi dengan nama yang berbeda, seperti Hero Bintaro Veteran di Jakarta Selatan yang berganti menjadi Giant. Dengan banyaknya pertumbuhan mal, kita patut bertanya, apakah supermarket atau toko modern yang berdiri sendiri masih bisa bertahan. Perihal ini akan dibahas di bab mengenai pemilihan lokasi.
Di akhir tahun 1980-an, pemerintah memberikan berbagai kemudahan fasilitas bagi perusahaan yang ingin menjual saham ke lantai bursa (go public). Tujuannya agar keuntungan dari perusahaan bisa dinikmati masyarakat luas. Sebaliknya, pemodal kecil dan menengah bisa berinvestasi pada perusahaan besar dan perusahaan besar bisa mendapatkan modal tambahan untuk ekspansi. Akhir tahun 1980-an hingga pertengahan 1990-an menandai ekspansi ritel yang cukup signifikan. Beberapa peritel besar seperti Hero dan Matahari mulai melirik pasar di luar Jawa, seperti Bali dan Balikpapan.
Walaupun mengalami kesulitan logistik dan kekurangan tenaga kerja yang kompeten serta persaingan ketat dengan peritel lokal yang lebih fleksibel dalam mengubah harga atau penyediaan barang, pertumbuhan penjualan di luar Jawa untuk para peritel nasional ini sangat menjanjikan.
Pada dasarnya, konsumen untuk masyarakat kalangan menengah atas. Indonesia adalah Pada saat itu, hanya Hero dan Gelael yang cukup agresif menambah gerai Pada dasarnya, konsumen Indonesia di luar Jakarta. Dengan kesempatan melakukan Initial Public Offering (IPO) di tahun 1989, laju Hero semakin tidak tertahan. Pada saat itu, Hero sebagai peritel makanan bersama dengan Matahari sebagai peritel busana menjadi pilihan utama pemilik mal. adalah konsumen yang sangat mencintai belanja dan menganggap belanja sebagai rekreasi. Berangkat dari pola kebiasaan---------------------------------------------------------
Website Raja Rak Minimarket yang lain :
Posting Komentar