7.3. The Battle for Consumer Mind vs Space

Buku Retail Rules > 7.3. The Battle for Consumer Mind vs Space

Merek produk telah lama berlomba-lomba mendapatkan tempat permanen di benak konsumen melalui iklan-iklan bernilai miliaran rupiah dan program-program pemasaran yang unik dan inovatif. Iklan terbukti ampuh dalam mempengaruhi konsumen tentang merek dan memberikan pengalaman unik melalui merek.
Tapi kini jumlah produk telah meningkat secara luar biasa. Beberapa produk terus berinovasi, meskipun sebagian besar lainnya meniru. Hal ini menyebabkan terjadinya banyak pilihan produk yang pada akhirnya dirasakan konsumen sebagai sebuah kerumitan.
Memilih sikat gigi atau cologne di supermarket saat ini menjadi tugas berat dan memusingkan. Raksikat gigi paling sedikit berukuran lima meter, berisisikat gigi dengan beragam fitur, harga, dan merek. Iklan semakin cluttered. Konsumen dihadapkan dengan rata-rata 1.600 iklan setiap hari. Bagi produsen, perang iklan seperti itu membuat mereka kesulitan untuk meraih perhatian konsumen, apalagi meraih tempat di benak konsumen. Asumsi ini semakin diperkuat dengan fakta bahwa konsumen kerap berubah pikiran saat memilih produk atau merek di dalam toko swalayan. Karena itu, detik terakhir di dalam toko adalah faktor kritis dalam dunia bisnis ritel saat ini.
Untuk mendapatkan perhatian dari konsumen, manufaktur lalu berlombalomba mendapatkan ruang di rak, untuk mengingatkan kembali akan aspirasi merek yang telah ditayangkan di media. Mereka berharap produk mereka masuk ke dalam troli. Pada tahun 1980-an hingga 1990-an, akibat desakan dan pengaruh manufaktur, para peritel menyediakan ruang khusus untuk memajang produk atau iklan milik manufaktur, tentu saja dengan imbalan rupiah dalam jumlah besar.
Imbalan itulah yang membuat para peritel tergiur dan terbuai, sehingga muncul pandangan seperti ini; untuk apa susah-susah berjualan ke konsumen, kalau dari kantong manufaktur saja hasilnya sudah lumayan?
Penyewaan gondola untuk memajang produk dan iklan milik manufaktur kemudian menjadi fenomena di banyak supermarket di dunia, termasuk di Indonesia. Kompetisi antarmanufaktur membuat harga sewa gondola melambung
tinggi, sehingga munculungkapan terkenal "Real estate termahal di dunia bukan di New York atau Tokyo, melainkan di supermarket”
Di akhir 1990-an, ketika kompetisi ritel mulai meningkat, peritel mulai berpikir ulang karena uang yang diterima tidakseimbang dengan loyalitas konsumen yang semakin menurun. Peritel kemudian diberi peringatan agar lebih berhati-hati dalam menerima tawaran menggiurkan dari manufaktur. Dengan kata lain, tidak sembarangan menyewakangondola, terutama gondola utama. Sebab, selama peritel menyewakan gondola, maka gondola itu secara tidak langsung milik manufaktur penyewa. Manufaktur dapat memajang produk apapun miliknya, termasuk produk yang tidak laku atau tidak dicari konsumen. Akibatnya, toko peritel dipenuhi produk yang tidak relevan dengan konsumen.
Sebaliknya, produk yang laku atau dicari konsumen selalu kekurangan tempat dan sering out of stock. Penjualan peritel menjadi terganggu. Dalam banyak kasus, penjualan untuk kategori produk tersebut menurun, tetapi peritel masih bingung untuk memutuskan apakah penyewaan gondola harus dihentikan, karena pendapatan dari sewa gondola jumlahnya lumayan. Peritel besar di dunia mulai mengubah kebijakan dalam sewa-menyewa gondola. Gondola reguler harus dalam kontrol peritel. Tempatitu mutlak untuk konsumen. Kebijakan ini mengembalikan pola bisnis kepola semula, yaitu “berjualan ke konsumen, bukan ke manufaktur”
Tren ini juga diikuti oleh peritel Indonesia. Yang masih disewakan adalah gondola end, special display, atau area lain. Dengan area yang semakin sempit dan pertarungan mendapatkan ruang di supermarket yang semakin sulit, maka harga sewanya juga semakin melambung. Listing fee pun mulai diterapkan di Indonesia sejak awal tahun 1990, meniru manajemen ritel modern di negara barat. Karena jumlah produk yang ingin masuk ke supermaket semakin banyak, maka diperlukan langkah untuk melakukan penyaringan. Adapun peran listing fee dalam dunia ritel adalah:
  • Membuat pemasok berkomitmen dalam memasok barang
  • Mengganti ongkos administrasi dalam identifikasi produk untuk reorder dan sebagainya
  • Memastikan produk didistribusikan secara terkontrol dan disebarkan di cluster toko yang dikehendaki dalam rantai distribusi
  • Mencegah terjadinya persekongkolan antara pembeli dan pemasok
Listing fee satu peritel secara umum berlainan satu sama lain, demikian juga antara satu kategori produk dengan kategori lainnya. Hal ini ditentukan faktor:

  • Jumlah toko dalam rantai tersebut atau jumlah toko yang menjual produk tersebut
  • Seberapa kuat merek peritel tersebut memberikan dampak pada merek produk atau seberapa unik produk tersebut untuk peritel
  • Seberapa besar dukungan promosi dari pemasok untuk peritel
  • Reputasi dari pemasok untuk produk baru - Jumlah rata-rata pengunjung toko peritel tersebut
  • Produktivitas per meter persegi dari toko peritel
  • Biaya pemasaran peritel dalam mengembangkan merek peritel

---------------------------------------------------------
Website Raja Rak Minimarket yang lain : 

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget